Jumat, 22 Maret 2013

makalah bangsa bugis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar BelakangTop of Form
seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam- macam suku, kebudayaan dan bangsa. Kebudayaan yang beraneka ragamtersebut tentu dapat terjadi karena perbedaan suku yang sangat terlihat pada setiap wilayahdan daerah di Indonesia. Tentu saja ini menjadi sebuah tradisi yang turun- temurun sejak dahulu.Kebudayaan ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan keberadaannya, inimerupakan bekal untuk generasi yang akan datang agar mereka juga bisa mengetahui danmelihat keindahan, keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memberitahu tentang kebudayaan yangada di Indonesia. Khususnya kebudayaan yang berada di daerah Sulawesi Selatan yaitu³suku Bugis´ melalui 7 unsur kebudayaan yang ada.Melihat keunikkan dari daerah Sulawesi selatan ini sendiri, penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Sulawesi Selatan memiliki berbagai macam kebudayaan yangsangat unik seperti suku bugis, toraja, Makassar, dsb. Sungguh sangat menarik jika diteliti.Kebudayaan mereka pun tidak jauh berbeda dan saling berhubungan.
1.2              Batasan Pembahasan
1.      Identifikasi Suku-Bangsa Bugis
2.      Sistem Kekerabatan
3.      Sistem pengetahuan
4.      Agama
5.      Mata Pencaharian Hidup
6.      Bahasa, Tulisan dan Kesusasteraan
7.      Teknologi
8.      Kesenian





BAB II
PEMBAHASAN


 2.1   Identifikasi
Kebudayaan Bugis Makasar adalah kebudayaan dari suku-bangsa Bugis-Makassar yang mendalami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau sulawesi. Dimana terdiri atas 23 kabupaten, diantaranya dua buah kota-madya. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku-bangsa ialah : Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Orang Bugis mendiami kabupaten-kabupaten Bulu-kumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, didenreng-Rappang, Pinreng, Polewali-Mamasa, Enkereng, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajenen Kepulauan dan Maros. Pangkajenen dan Maros merupakan daerah-daerah peralihan yang penduduknya menggunakan bahasa bugis dan makassar. Kabupaten Enrekang merupakan daerah peralihan Bugis-Toraja dan penduduknya sering dinamakan orang Duri.
Orang Makassar mendiami kabupaten-kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkajene (Bugis-Makassar). Orang Toraja ialah penduduk Sulawesi Tengah, sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan, ialah wilayah dari kabupaten Tana-Toraja dan Mamasa (Toraja Sa’dan). Orang Mandar mendiami kabupaten Majene dan Mamuju.

2.2  Sistem Kekerabatan
Perkawinan dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desanya sendiri, adat Bugis-Makassar menetapkan sebagai perkawinan yang ideal :
1.      Perkawinan assialang marola (dalam bahasa Makassar passialleang baji’na) : antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu.
2.      Perkawinan assialanna memang (dalam bahasa Makassar passialleanna) : perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
3.      Perkawinan antara ripaddeppe’ mabelae (dalam bahasa Makassar nipakambani bellaya) : perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga juga dari kedua belah pihak.
Adapun perkawinan-perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang (salimara’) adalah :
1.      Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah.
2.      Antara saudara-saudara kandung.
3.      Antara menantu dan mertua.
4.      Antara paman atau bibi dengan kemenakannya.
5.      Antara kakek dan nenek dengan cucu.
Perkawinan yang dilangsungkan secara adat melalui deretan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1.      Mappuce-puce (dalam bahasa Makassar akkusissing) : kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk memeriksa kemungkinan apakah peminang dapat dilakukan. Kalu kemungkinan itu tampak ada, maka diadakan.
2.      Massuro (dalam bahasa Makassar assuro) : kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis mas-kawinnya, belanja perkawinan, dan penyelenggaraan pestanya. Setelah tercapai persepakatan maka masing-masing keluarga melakukan.
3.      Madduppa (dalam bahasa Makassar ammuntuli) : pemberitahuan kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.

2.2      Sistem Pengetahuan

Sampai tahun 1965 , karena keadaan kekacauan terus-menerus sejak zaman jepang, zaman revolusi, dan zaman pemberontakan kahar muzakar, maka perkembangan di sulawesi selatan amat terbelakang kalau dibangkan dengan lain-lain daerah di indonesia walaupun demikian di kota-kota, usaha memajukan pendidikan berjalan juga dan sesudah pemulihan kembali keadaan aman, maka disampin rehabilitaasi dalam sektor2 ekonomi, sarana dan kehidupan kemasayarakatan pada umum nya, usaha dari lapangan pendidikan mendapat perhatian yang khusus.



2.3   Agama
Religi orang Bugis-Makassar dalam zaman pra-Islam, seperti tampak dari sure’ Galigo, sebenarnya telah mengandung suatau kepercayaan satu dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti :
1.      Patoto-e (dia yang menentukan nasib).
2.      Dewata seuwa-e (dewa yang tunggal).
3.      Turie a’rana (kehendak yang tertinggi).
Sisa-sisa kepercayaan lama seperti ini masih tampak jelas misalnya pada orang To Lotang di kabupaten Sidenreng-Rappang dan pada orang Amma-Towa di Kajang, kabupaten Bulukumba.
Waktu agama islam masuk ke Sulawesi Sealatan pada permulaan abad ke-17, maka ajaran Tauhid dalam Islam, mudah dapat di pahami oleh penduduk yang telah percaya kepada dewa yang tunggal dalam La Galigo. Demikian agama islam mudah diterima dan proses itu dipercepat dengan dan oleh kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain yang sudah beragama islam.
Hukum Islam atau syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara’ (unsur yang mengandung pranata-pranata dan hukum Islam) sebagai suatu unsur pokok darinya dan kemudian menjiwai keseluruhannya.
Kira-kira 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama kristen protestan atau katolik. Kegiatan da’wah islam dilakukan oleh organisasi islam yang amat aktif sepetri Muhamadiyah, Darudda’wah wal Irsjad, partai-partai politik islam dan ikatan mesjid dan musholla dengan pusat islamnya di Ujung Pandang. Kegiatan-kegiatan dari missi katolik dan penyebar injil lainnya juga ada di Sulawesi Selatan





2.4   Mata Pencaharian
Penduduk Sulawesi  Selatan pada umumnya petani seperti penduduk dari lain-lain daerah di Indonesia. Di berbagai tempat di pegunungan, di pedalaman dan tempat-tempat terpencil lainnya di Sulawesi Selatan seperti di daerah orang toraja, banyak penduduk msih melakukan cocok tanam dengan teknik peladangan.
Adapun pada orang Bugis dan Makassar yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupaka n suatu mata pencaharian hidup yang penting. Memang orang Bugis dan Makassar terkenal sebagai suku-bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Kebudayaan maritim dari orang Bugis-Makassar itu tidak hanya mengembangkan perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang cuckup tinggi, tetapi juga meninggalkan suatu hukum niaga  dalam pelayaran, yang disebut Ade’ Allopi-loping Bicaranna Pabbalu’e  dan yang tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa dalam abad ke-17. Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang Bugis dan Makassar, akibat dari kebudayaan maritim dari abad-abad yang telah lampau itu.
Sebelum Perang Dunia ke-II, daerah Sulawesi sealatan merupakan daerah surplus bahan makanan, yang mengexport beras dan jagung ke lain-lain tempat di Indonesia. Adapun kerajinan rumah tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar dan wajo dan tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba.

2.5   Bahasa, Tulisan dan Kesusasteraan
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang Makassar bahasa Mangasara. Kedua bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti secara mendalam oleh seorang ahli bahasa Belanda  B.F.Matthes, dengan mengambil berbagai sumber, kesusateraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar itu sejak berabad-abad lamanya. Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang asal dari huruf sansekerta. Sejak abad permulaan abad ke-17 waktu agama islam dan kesusasteraan islam mulai mempengaruhi Sulawesi Sealatan, maka kesusasteraan Bugis dan Makassar ditulis dalam huruf Arab (aksara serang).
Naskah-naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang ditulis diatas kertas denga pena atau lidi ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau dalam aksara serang. Di antara buku terpenting dalam kesusasteraan Bugis dan Makassar adalah buku Sure Galigo. Suatu himpunan amat besar dari suatu mitologi yang bagi banyak orang Bugis dan Makassar masih mempunyai nilai yang keramat. Selain itu juga mempunyai fungsi sebagai pedoman dan tata kelakuan bagi kehidupan orang, seperti buku himpunan amanat-amanat dari nenek moyang (paseng), buku himpunan undang-undang, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemimpin-pemimpin adat (rapang). Kemudian ada juga himpunan-himpunan kesusasteraan yang mengandung bahan sejarah, seperti silsilah raja (Attoriolong) dan ceritera-ceritera pahlawan yang dibubuhi sifat-sifat legendaris (pau-pau). Akhirnya ada juga banyak buku-buku yang mengandung dongeng rakyat, catatan-catatan tentang ilmu gaib (kotika) dan buku-buku yang berisi syair, nyanyian-nyanyian, teka-teki dan sebagainya.

2.6   Teknologi

Suku bugis di makasar sebagai salah satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang menunjukan suku bugis piawai menguasai lautan dengan perahu layar. Perantauan mereka sudah terkenal sejak beberapa abad lalu. Mereka tidak hanya menguasai perairan wilayah nusantara, banyak bukti yang membuktikan bahwa sejak dulu pelaut bugis makasar telah sampai disemenanjung malaka, singapura, Filipina, Australia, madagaskar ,dan lain sebagainnya. Salah satu jenis perahu yang digunakan untuk berlayar ialah perahu pinisi. Perahu jenis ini telah digunakan oleh pelaut bugis sejak ratusan tahun lalu. Diluar Sulawesi selatan, perahu pinisi lebih dikenal sebagai perahu bugis.
Menurut beberapa sumber perahu yang dipergunakan masyarakat pesisir ada beberapa jenis. Tetapi, pada umumnya perahu yang mereka gunakan adalah perahu kecil yang digunakan untuk mendukung aktivitas mereka sehari-hari. Menurut legenda, perahu besar baru mulai dipergunakan sejak zaman saweri gading seperti disebutkan dalam lontarak ilaga ligo. saweri gading adalah putra raja luwu yang pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besar. Perahu tersebut dibuat dengan kekuatan medis oleh neneknya yang bernama la toge langi (gelar batara guru) selanjutnya mereka percaya bahwa dari rakitan itulah mereka mendapatkan ilham dasar membuat perahu yang terbuat dari lembaran-lembaran papan. Mereka percaya konstruksi perahu saweri gading telah dibakukan oleh nenek moyang mereka yang selanjutnya menjadi pola perahu yang terkenal yaitu pinisi.
Bagi orang lemo-lemo, mereka percaya bahwa keahlian membuat perahu yang mereka miliki bersumber dari penemuan saweri gading demikian pula orang bira mereka percaya bahwa keahlian berlayar yang mereka miliki sejak dahulu diwarisi dari penemuan layar dan tali temali perahu dari saweri gading.
Untuk perahu jenis lainnya, masyarakat suku bugis yang bermata pencaharian sebagai nelayan mampu merakit perahu bercadik atau perahu kecil yang bernama padewakang. Umumnya perahu ini digunakan para nelayan untuk berburu ikan. 

2.7   Kesenian
Alat musik:
1.Kacapi(kecapi)
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis,
   Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau
   diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang 
   memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
   Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan,
   bahkan hiburan pada hari ulang tahun.



2. Sinrili

Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan
    membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain
    duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.

4.      Gendang

    Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar
    seperti rebana.
5.      Suling
  Sulingbambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan  dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah
   Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau
   acara penjemputan tamu.



Seni Tari

• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika
   kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran
   dan kehormatan

• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang
   sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan
   perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria),
   namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari
   Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).



BAB III
PENUTUP


3.1   Kesimpulan
Suku-Bangsa Bugis adalah bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi.
3.2 Saran
                        Mengetahui






















DAFTAR PUSTAKA




1 komentar: