Jumat, 11 Agustus 2017

Antropologi Ekologi



antropologi ekologi

(Pertemuan ke-1) :
MANUSIA DAN LINGKUNGAN ALAM FISIK
Manusia adalah makhluk hidup yang tidak bisa dilepaskan dengan alam dan lingkungannya. Kedua variabel ini saling terkait satu sama lainnya. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam di sekelilingnya. Lingkungan alam fisik adalah salah satu fakor utama bagi manusia untu dapat memepertahankan hidupnya. Manusia adalah makhluk yang memiliki akal, dengan akal yang dimiliknya inilah manusia mampu mengolah alam di sekitarnya untuk mempertahankan hidupnya.
Kondisi lingkungan fisik mmapu menopang kehidupan manusia, adanya sumber daya produktivitas yang dimiliki oleh alam akan dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka beradaptasi dengan alam tempat tinggalnya. Alam akan menyediakan kebutuhan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang mampu mengolah alam. Jadi dari hal ini terlihat bahwa manusia dengan lingkungan alam tidak akan dapat dipisahkan.
Namun selain sisi positif yang dikemukakan di atas hubungan antara manusia dengan alam fisik, terdapat juga hubungan yang negatif antara manusia dengan alam yang diakibatkan oleh tingkah laku manusia terhadap alam yang menimbulkan kerusakan.
Manusia dengan sikap yang berlebih terhadap pemanfaatan alam akan mangakibatkan terjadinya kerusakan di alam. Kebutuhan manusia untuk tetap melanjutkan kehidupan menuntut manusia untuk selalu memanfaatkan nilai produktivitas atau nilai guna yang dimiliki  alam hingga akhirnya alam sendiri tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kondisi seperti inilah yang nantinya akan menimbulkan permasalahan serius terhadap kondisi alam.
Permasalahan antara manusia dengan lingkungan alam inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam antropologi ekologi dalam melihat hubungan antara manusia, kebudayaan dan lingkungannnya dengan berbagai permasalahn yang ditimbulkannya.

(Pertemuan ke-2)
SEJARAH DAN RUANG LINGKUP
KAJIAN ANTROPOLOGI EKOLOGI

A.    Sejarah Antropologi Ekologi
Ahli pertama yang mencetuskan lahirnya antropologi ekologi adalah Julian Steward yang berasal dari Amerika Serikat (1955). Ia mengkaji  mengenai saling keterkaitan antara perubahan sosial dengan lingkungan, bahwa sebenarnya perubahan sosial (social change) juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, sosial-budaya, binaan). 

B. Ruang Lingkup Kajian Antropologi Ekologi
Antropologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajarai manusia dengan segala unsur kebudayaannya. Sedangkan ekologi mempelajari mengenai lingkungan hidup. Jadi antropologi ekologi mempelajari bagaimana manusia hidup dengan kebudayaannya yang terwujud dalam bentuk (sistem pengetahuan, pola pikir, tingkah laku, nilai-nilai dalam masyarakat) yang mempengaruhi lingkungan hidup.
Antropologi ekologi adalah :
1.      Mengkaji permasalahan lingkungan dengan menggunakan konsep-konsep antropologi. Karena permasalahan lingkungan selalu dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
2.      Ilmu lingkungan yang dipahami dengan konsep antropologi, pendekatan antropologi, teori antropologi.
Antropologi ekologi mengkaji permasalahan manusia dan lingkungan dengan menggunakan konsep-konsep antropologi, dikarenakan permasalahan lingkungan selalu dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Jadi antropologi ekologi adalah suatu kajian di dalam ilmu antropologi yang mengkaji khusus tentang ekologi manusia, yaitu manusia, lingkungan dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi, hal-hal yang menjadi pokok kajiannya adalah manusia, lingkungan dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat yang menghasilkan pola pikir dan pola perilaku adaptasi untuk mempertahankan hidup di lingkungannya.
Berdasarkan objek kajian dari antropologi ekologi, maka yang dikatakan dengan pendekatan antropologi ekologi adalah suatu pendekatan atau metode yang digunakan untuk meneliti dan mengkaji korelasi antara manusia, lingkungan serta kebudayaan dalam suatu masyarakat. Pendekatan antropologi ekologi adalah pendekatan yang memfokuskan pendalamannya terhadap ekologi manusia dan kebudayaan. Hal ini terkait dengan objek ilmu ekologi dan juga objek ilmu antropologi. Dimana antropologi menggabungkan kedua konsep ini untuk lebih memahami masyarakat secara mendalam. Karena manusia tidak hanya hidup di lingkungan fisik saja, namun yang lebih penting lagi manusia juga hidup di lingkungan sosial-budaya yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia terkait dengan bagaimana manusia menginterpretasikan lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya. Oleh karena itu pendekatan antropologi sangat dibutuhkan untuk mengkaji manusia dengan lingkungannya. Ketika ilmu-ilmu lain tidak mampu memecahkan masalah lingkungan seperti ilmu alam yang hanya mengkaji lingkungan fisik dengan wujudnya yang nyata saja, maka disinilah dibutuhkan peranan pendekatan antropologi ekologi untuk memecahkan masalah manusia dengan lingkungannya. Karena hubungan manusia dengan lingkungan tidak bisa dikaji dari aspek fisik saja, namun jauh lebih penting dari itu aspek kebudayaan yang mempengaruhi hubungan manusia dengan lingkungannya itulah yang perlu dikaji.


C.    Manfaat Mempelajari Antropologi Ekologi
Isu-isu lingkungan merupakan sebuah isu internasioanal dan tidak bisa dipecahkan dengan menggunakan satu ilmu saja, karena ilmu saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk memecahkan masalah lingkungan inilah diperlukan kajian antropologi kologi.
Dalam mengelola lingkungan hal mendasar dan yang terpenting  dalam tindakan manusia terhadap pengelolaan lingkungan adalah budaya yang dimiliki suatu masyarakat.karena kebudayaan merupakan pedoman dalam bertingkah laku dan menjadi pegangan bagi pemiliknya. Itulah sebabnya kenapa permasalahan lingkungan tidak bisa dipecahkan dengan ilmu seperti biologi, kimia, dll. Satu hal penting dalam mengkaji manusia adalah bahwa manusia mempunyai kebudayaan yang di dalamnya terdapat nilai, norma yang menjadi acuan dalam bertindak. Oleh sebab itulah dalm mengkaji permasalahan lingkungan diperlukan adanya analisis antropologi ekologi.

(Pertemuan 3)
           MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN
Manusia adalah makhluk yang bertindak didasarkan atas kebudayaan yang dimilikinya, kerena kebudayaan yang dimilikinya merupakan sebuah pedoman yang dijadikannya untuk berpikir dan berperilaku. Kebudayaan dengan manusia tidak bisa dilepaskan, karena keduanya saling terkait. Tidak ada manusia tanpa kebudayaan dan tidak aka nada kebudayaan tanpa adanya manusia.
Selain itu yang penting lagi adalah lingkungan. Lingkungan adalah tempat manusia hidup yang juga tidak bisa dilepaskan dari manusia. Menusia membutuhkan alam yang meiliki nilai guna yang akan dimanfaatkan oleh manusia untuk mempertahankan hidupnya. Manusia akan mengolah alam untuk mencukupi kebutuhannya. Dalam mengolah lingkungan inilah manusia menggunakan kebudayaannya untuk memilih bagaimana cara atau strategi yang digunakan oleh manusia untuk dapat memanfaatkan alam sehingga kehidupannya tetap berlanjut.
Kebudayaan yang dijadikan pedoman oleh manusia dalam bertindak akan membantu manusia mengubah alam menjadi lingkungan yang mampu menghasilkan apa yang dibutuhkannya.

(Pertemuan ke-4)
KEBUDAYAAN, ADAPTASI DAN KONSEP-KONSEP
ANTROPOLOGI EKOLOGI

Variabel adaptasi, lingkungan dan kebudayan merupakan merupakan hal yang sangat penting bagi mnausia, dan ketiga hal itu saling terkait satu sama laian. Adaptasi merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang dihadapinya. Melalui adaptasi yang dilakukan itulah manusia dapat bertahan hidup di lingkungannya dengan berbagai tantangan yang ada di setiap lingkungan. Tantangan yang dilahirkan oleh lingkungan (lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya) menuntut manusia untuk mampu hidup selaras dengan lingkungannya. Karena dengan hidup selaras dengan lingkungannyalah manusia dapat mempertahankan hidupnya. Jika manusia tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya maka ia akan gagal dan terseleksi oleh lingkungannya sendiri. Oleh karena itu kondisi lingkungan sangat mempengaruhi strategi adaptasi apa yang dipilih oleh manusia yang nantinya juga akan melahirkan strategi yang berbeda pula dalam setiap masyarakat untuk menjawab tantangan yang ada di lingkungannya.  Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan tersebut menunjukkan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya. Sedangkan keterkaitannya dengan kebudayaan adalah bahwa kebudayaan merupakan ekspresi adaptasi manusia terhadap kondisi lingkungannya. Perbedaan lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi kebudayaan masing-masing masyarakat, dan perbedaan kebudayaan  akan mempengaruhi pola-pola adaptasi yang dilakukan. Jadi berdasarkan penjelasan diatas terlihat keterkaitan antara adaptasi, lingkungan dan kebudayaan yang saling terikat satu sama lain dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam realitas ekologi manusia. Hal ini menunjukkan adanya hubungan saling terkait antara lingkungan fisik dan sistem sosial budaya masyarakat.

Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam antropologi ekologi adalah :
1.      Manusia adalah makhluk hidup yang akan selalu mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan lingkungannya agar bisa menghasilkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya.
2.      Kebudayaan adalah pola pikir yang membentuk manusia bagaimana cara ia dalam bertindak atau berperilku dalam menghadapi lingkungannya.
3.      Adaptasi adalah sebuah usaha atau upaya yang dilakukan oleh manusia untuk hidup selaras dengan lingkungan di mana ia berada baik itu lingkungan fisik, lingkungan sosial maupun budaya agar dapat tetap mempertahankan kehidupannya.
4.      Lingkungan adalah suatu tempat dimana manusia dapat mempertahankan hidup dengan memanfaatkan nilai produktivitas yang dimiliki lingkungan tempat tinggalnya.

(Pertemuan ke-5)
TEORI DAN PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI EKOLOGI

1.       Pendekatan Etnoekologi
                  Pendekatan antropologi ekologi dicetuskan oleh ahli antropologi yang berlatar belakang linguistik. Pendekatan ini berasal dari etnosains yang pertama kali diperkenalkan oleh Conklin tahun 1954.
Pendekatan etnoekologi berusaha melukiskan lingkungan sebagaimana lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat yang diteliti (emic).
Asumsi dasar pendekatan etnoekologi adalah bahwa lingkungan atau “lingkungan efektif” bersifat kultural sebab lingkungan obyektif yang sama dapat dipahami secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang lingkungan budaya yang dikodefikasi dalam bahasa. Oleh karena itu dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan etnoekologi hal pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah memahami lingkungan dengan menggungkapkan taksonomi-taksonomi, klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah-istilah lokal. Sebab taksonomi dan klasifikasi inilah terkandung pernyataan-pernyataan atau ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenai lingkungannya. Dalam struktur bahasalah terkandung berbagai informasi penting untuk mendapatkan etnoekologi masyarakat yang diteliti.

(Pertemuan ke-6) :
PENDEKATAN EKOLOGI SILANG BUDAYA
(CROSS CULTURAL ECOLOGICAL APPROACH)
Penelitian yang menggunakan pendekatan silang budaya adalah penelitian yang dilakukan oleh :
1.      Netting
Netting melakukan penelitiannya di kalangan orang Kofyar di Nigeria dari tahun 1960 hingga 1962. Penelitian ini ditujukan untuk melukiskan sistem pertanian orang Kofyar yang dianggapnya unik dan sangat terintegrasi. Dia juga menganalisis saling hubungan antara sistem pertanian mereka dengan latar belakang sosial budaya petaninya dan perhatiannya lebih diarahkan pada aspek budaya proses adaptasi orang Kofyar. Secara umum orientasi teoritisnya adalah mencakup pemisahan berbagai unsur lingkungan yang berkaitan dengan proses adaptasi manusia dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia, dan hubungan empirik ciri-ciri mata pencaharian ini dengan pola-pola kebudayaan tertentu.
2.      Walter Goldschmit
Di awal tahun 60-an Walter Goldschmit mengetuai sebuah proyek bernama “Kebudayaan dan Ekologi di Afrika Timur”. Tujuan penelitian ini adalah melakukan studi perbandingan yang terkontrol mengenai perbedaan dalam kebudayaan pada kelompok-kelompok dari empat macam suku bangsa yang masing-masing mempunyai mempunyai ciri: ada yang memusatkan pada aktivitas pengembalaan dan yang lain pada kegiatan pertanian. Orientasi teoritis proyek ini muncul dari usaha menggabungkan teori struktural fungsional dengan teori evolusi.
Hasil studi dari proyek penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian-penyesuaian ekonomi yang berlaianan antar pengembala dan petani, yang dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang berbeda, memang telah menghasilkan nilai-nilai, sikap dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda pula.

Dari kedua penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil kedua penelitian tersebut adalah sama-sama mengkaji mengenai cara masyarakat mempertahankan hidupnya yaitu terdapat adanya pola adaptasi masyarakat yang berbeda terhadap lingkungan. Lingkungan yang berbeda akan menghasilkan adaptasi yang berbeda pula. Karena tuntutan dari setiap lingkungan berbeda-beda terhadap manusianya.
-          Membandingkan antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya, yang dibandingkan adalah unsur-unsur kebudayaannya.
-          Membandingkan sistem-sistem tertentu dengan sistem yang lain dalam kebudayaan
-          Membandingkan hasil kebudayaan.












Adaptas adaptasi Dalam pendekatan antropologi ekologi silang budaya tujuan membandingkan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain adalah dikarekan kebudayaan disetiap masyarakat mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda. Karakteristik yang berbeda ini pulalah yang mempengaruhi perbedaan pola pikir dan tindakan (kebudayaan materi dan kebudayaan non materi) dalam masing-masing masyarakat.
Selain itu perbedaan ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing kebudayaan juga mempengaruhi bagaimana interaksi manusia dengan lingkungan. Terutama dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Perbedaan pendekatan ekologi silang budaya dengan pendekatan etnoekologi adalah :
1.      Pendekatan etnoekologi lebih menekankan kepada linguistik atau bahasa yang dimiliki dalam suatu masyarakat. Untuk meneliti suatu masyarakat tertentu peneliti terlebih dahulu harus memahami bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang akan ditelitinya. Artinya pendekatan ini lebih memusatkan pada satu perhatian dalam memahami masyarakat yaitu bahasa yang dimiliki sebagai salah satu wujud dari kebudayan yang dimilikinya. Dan menurut pendekatan ini bahasa yang dimiliki akan menunjukkan perilaku apa nantinya yang akan dilakukannya dalam beradaptasi dengan lingkungan.
2.      Sedangkan pendekatan ekologi silang budaya tidak berpusat pada unsur bahasa saja. Namun karena dipengaruhi oleh teori fungsionalisme dan evolusi, maka pendekatan ini melihat lebih banyak unsur budaya dalam masyarakat seperti mata pencaharian, teknologi, ekonomi yang terwujud dalam satu sistem kebudayaan dalam masyarakat yang akan mempengaruhi bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungannya.



(Pertemuan ke-7)
TEORI EKOSISTEMIK MATERIALISTIK

Pendekatan ini penekanannya adalah pada perilaku fisik manusia yang nyata, bagaimana manusia secara langsung mempengaruhi dan mengubah lingkungannya. Pendekatan ini melihat tingkah laku manusia yang dapat dilihat dan diukur dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pendekatan ini dipengaruhi aliran neo-fungsionalisme, yang mana pendekatan ini melihat sistem yang ada dalam masyarakat. untuk mengkaji suatu masyarakat maka perlu mengkaji semua sistem, hal ini bertujuan untuk menjelaskan unsur-unsur kebudayaaan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi lingkungan ataupun sebaliknya. oleh karena itulah pendekatan ini adalah pendekatan yang mengkaji hubungan manusia, lingkungan dan kebudayaan secara holistik. Berbeda dengan pendekatan etnoekologi yang sebelumnya, pendekatan etnoekologi hanya mengungkap istilah lokal melalui klasifikasi bahasa yang dimiliki oleh masyarakat. etnoekologi hanya melihat satu unsur kebudayaan saja. Sedangkan ekosistemik ini adalah melihat keseluruhan unsur kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sebagai sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dilihat secara terpisah dalam mengkaji masyarakat. .
Contoh penelitian dengan pendektan ekosistemik :
Propinsi Sumatera Selatan tepatnya di daerah Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Musi Rawas merupakan obyek yang tepat untuk dikaji atau dianalisis dengan persfektif atau sudut pandang ilmu antropologi ekologi, karena disana ditemukan fenomena ekologi dan interaksi dengan perilaku manusia. Yang menarik dari tempat tersebut, banyak sekali didirikan tambang migas seperti PT Pertamina, Haiburton, PT Medco dan perusahaan perkebunan seperti PT Musi hutan persada, PT Citra future, PT London sumatera, PT Eka jaya dan Multarada Multi Maju, yang hampir semuanya saham yang dimiliki berasal dari saham asing. Permasalahan yang terjadi akibat dari banyaknya didirikan perusahaan sekarang ini yaitu bagaimana aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dan berbagai perusahaan sebagai wujud streategi dalam mengeksploitasi, memanfaatkan dan melestarikan lingkungan serta budaya.
Permasalahan lingkungan hidup dan dampak pembangunan membuat berbagai paradigma untuk mengkaji interaksi manusia dan lingkungan. Seperti yang diungkapkan Steward mengenai bagaimana interaksi antara kebudayaan dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab akibat tanpa harus terpeleset ke dalam partikularisme.
Tinga langkah dasar dalam studi ekologi budaya yang menurut steward perlu diikuti :
1.      Melakukan analisis terhadap hubungan antara lingkungan dan teknologi pemanfaatan.
2.      Melakukan analisis terhadap pola-pola perilaku dalam pemanfaatan suatu kawasan tertentu yang menggunakan teknologi tertentu.
3.      Melakukan analisis terhadap tingkat pengaruh dari pola-pola perilaku dalam pemanfaatan lingkungan terhadap aspek lain dari kebudayaan.

·         Hubungan lingkungan dan teknologi pemanfaatan
Sumatera Selatan khususnya di daerah segi tiga emas hitam selain menyimpan berbagai kandungan bumi, tempat itu juga merupakan daerah yang subur. Rata-rata pada masyarakat setempat masih mneggunakan teknologi tradisional untuk memanfaatkan lingkungannya atau berinteraksi dengan alam. Kondisi geografis pun mendukung yaitu berupa hutan-hutan dan sungai-sungai yang mampe memobilitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Seiring masuknya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam pertambangan atau perkebunan, masyarakat setempat pun mulai bergeser perubahan sosialnya. Dengan kemunculan perusahaan-perusahaan tersebut ada dampak positif yaitu kalau dahulu mereka mengangkut barang dagangan harus melalui sungai dengan waktu tempuh yang cukup lama, dengan dibangunnya perusahaan dan jalan darat maka masyarakat diberi kemudahan untuk membawa barang dagangannya melalui jembatan darat yang lebih cepat.
·         Pola-pola perilaku dalam pemanfataan suatu kawasan tertentu
Ada dampak positif dari keberadaan tambang minyak dan industri bagi penduduk, yaitu sarana transportasi jauh lebih mudah dan perkampungan menjadi lebih ramai. Dari kemunculan perusahaan-perusahaan tersebut juga membuat karakter masing-masing daerah atau perkampungan menjadi berbeda. Talang, pemukimannya dimana sebagian besar penduduknya menempati rumah yang ada hanya sebagai tempat transit bagi mereka ketika mereka bekerja di ladang atau di kebun. Dusun, pemukiman sebagai perkembangan lebih lanjut dari talang, sebagian besar penduduknya sudah menetap di lokasi itu. Desa, kesatuan dari dua atau beberapa dusun yang sebenarnya lebih bersifat polis administratif.
Dengan adanya campur tangan pemerintah yang dulunya tempat-tempat pemukiman masih asri sekarang menjadi terpetak-petak dan malah terjadi perambahan hutan untuk pembangunan pemukiman baru yang telah dirancang oleh pemerintah.
Penelitian ini melihat seluruh unsur kebudayaan masyarakat Sumatera Seltan secara holistik, yaitu karena adanya pembangunan perusahaan-perusahaan besar mendorong masyarakat untuk berubah. Dari masyarakat tradisioanal ke masyarakat modern. Penelitian ini juga melihat perbedaan aktivitas perdagangan masyarakat, dan berbagai pola-pola perubahan di masyarakat tersebut.










(Pertemuan ke-8)
ANTROPOLOGI EKOLOGI BARU

Pelopor mengenai antropologi ekologi baru adalah Vayda. Pada tahun 1975, bersama dengan Bonnie McCay, salah seorang mahasiswinya, Vayda menulis sebuah artikel mengenai arah-arah baru dalam ekologi dan antropologi ekologibdimana mereka juga memperkenalkan pendekatan antropologi ekologi yang baru.
Sebelumnya mengenai antropologi ekologi baru sudah tampak pada karya-karya Vayda sebelumnya yaitu artikel tentang peperangan. Ia memfokuskan pada fungsi peperangan sebagai mekanisme penyeimbang dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya. Dalam artikel ini Vayda membahas bahwa fungsi peperangan dipandang sebagai salah satu dari jumlah proses adaptasi manusia terhadap kekacauan yang terjadi di lingkungannya.

Antropologi ekologi baru muncul untuk mengkritik kelemahan pendekatan neo-fungsional, yakni :
1.      Penekanan yang berlebihan pada faktor energi
2.      Ketidak mampuannya menjelaskan gejala-gejala kultural
3.      Keasyikannya dengan keseimbangan-keseimbangan yang statis
4.      Ketidak jelasannya mengenai unit analisis yang tepat










(Pertemuan ke-9)
METODE PROGRESSIVE CONTEXTUALIZATION

Metode progressive contextualization atau kontekstualisasi terus-menerus. Adapun ciri-ciri dari metode ini adalah :
1.      Peneliti harus terjun langsung ke lapangan untuk meneliti atau disebut observasi partisipasi.
2.      Berfokus pada : aktivitas manusia dengan permasalahan yang spesifik dengan mengemukakan faktor penyebab eksternal dan internal
3.      Bersifat holistik : melihat secara keseluruhan gejala yang diteliti dengan mengkaji sedalam-dalamnya permasalahan yang diteliti
Dalam penelitian antropologi ekologi yang  menggunakan metode ini, yang paling penting adalah peneliti harus mampu mengungkap ‘faktor eksternal’ dan ‘faktor internal’ yang tujuannya adalah hasil penelitian bersifat holistik yaitu dengan cara melihat keseluruhan aspek kehidupan masyarakat dengan mengaitkan keseluruhan aspek kehidupan masyarakat yang diteliti dengan permasalahan lingkungan yang terjadi.
Catatan bagi peneliti yang menggunakan metode ini dalam penelitian antropologi ekologi adalah jangan menanyakan “sebaiknya” tapi tanyakan “kenapa”. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan sedalam-dalamnya permasalahan yg terjadi di lingkungan yang diteliti. Selain itu lakukanlah penelitian ini secara berkelanjutan agar penelitian ini bisa mengungkap faktor eksternal dan faktor internal di balik masalah yang diteliti.








(Pertemuan ke-10)
KEBUDAYAAN DAN MASALAH LINGKUNGAN

Kasus : Sungai Ciliwung (Heddy Shri Ahimsa Putra)
Permasalahan kali ciliwung adalah permasalahan lingkungan yang tidak pernah terselesaikan di Indonesia. Kali ciliwung merupakan sumber kehidupan bagi orang-orang yang tinggal disekitarnya, air sungai dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dll. Kondisi air kali ciliwung sebenarnya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh ahli biologi, kimia membuktikan bahwa air kali sungai ciliwung sudak tercemar dan tidak layak untuk digunakan untuk lagi. Pencemaran air sungai ciliwung bersumber dari pencemaran limbah pabrik, kotoran manusia, dan sampah. Namun ironisnya meskipun warga disekitar kali ciliwung mengetahui bahwa sebenarnya airnya sudah tercemar, akan tetapi mereka masih saja menggunakannya untuk sumber kehidupan.
Untuk mengatasi masalah ini pemerintah juga telah berusaha memecahkannya, namun tidak pernah tuntas sampai sekarang. Kondisi air ciliwung yang telah tercemar dan tidak layak digunakan telah dibuktikan dengan berbagai penelitian seperti ahli biologi dan kimia seperti yang telah disebutkan di atas. Namun, meskipun begitu masyarakat tidak tau menau dengan kondisi air ciliwung, bagi mereka yang terpenting air ciliwung masih bisa mereka gunakan sehari-hari.
Pemecahan masalah lingkungan tersebut jika dikaji dengan pendekatan antropologi ekologi, maka yang penting untuk dikaji bukan lagi sosialisai bahwa air ciliwung sudah tercemar kepada warga disekitarnya, karena walaupun tercemar mereka masih tetap menggunakan airnya. Tapi ada yang lebih penting lagi yang harus dikaji yaitu mengenai orang-orang yang tinggal disekitarnya. Hal ini terkait dengan pertanyaan kenapa mereka masih menggunakan air ciliwung. Yang perlu diperdalami lagi adalah bagaimana dengan kebudayaan masyarakat di sekitar kali ciliwung. Karena kebudayaan menyangkut dengan pengetahuan yang mereka miliki yang mempengaruhi pola pikir dan pola tindakan mereka. Jika aspek kebudayaan yang dikaji kita bisa menemukan penyebab kenapa mereka masih menggunakan air ciliwung yang sudak tercemar. Bisa saja bagi mereka air yang sudah tercemar bukanlah sebuah ukuran untuk melihat air bersih yang layak untuk digunakan. Namun bagi mereka meskipun air itu sudah tercemar jika masih bisa mereka manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari, maka mereka akan menggunakannya. Pengetahuan mereka tersebut sebenarnya terkait dengan konsep “bersih” dan “sehat”   yang merupakan bagian dari pengetahuan yang mereka miliki.
Bersih menurut masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Ciliwung adalah apabila sungai Ciliwung tidak terjadinya bencana banjir yang menyebabkan air mengandung lumpur karen apada saat kondisi air seperti inilah yang mereka sebut dengan “kotor" namun, apabila air sungai ciliwung keruh dan tidak mengandung lumpur mereka masih menganggap air itu bersih dan dapat digunakan untuk keperluan sehari (mandi cuci kakus).
Selain konsep bersih konsep “tercemar” yang dianut masyarakat disekitar ciliwung adalah bahwa meskipun berbagai penelitian menyatakan bahwa sungai ciliwung sudah tercemar dan terkontaminasi tapi bagi mereka air ciliwung tidak tercemar, karena menurut mereka setelah bertahun-tahun mereka menggunakan air ciliwung untuk keperluan sehari-hari mereka tidak pernah sakit. Artinya bagi mereka air ciliwung tidak tercemar apa-apa dan masih layak digunakan untuk keperluan sehari-hari. 

(Pertemuan ke-12)
PENELITIAN : PERILAKU EKSPLOITASI SUMBER DAYA TAKA DAN KONSEKUENSI LINGKUNGAN DALAM KONTEKS INTERNAL DAN EKSTERNAL : STUDI KASUS PADA NELAYAN PULAU SEMBILAN
(Oleh : Munsi Lampe, Sjafri Sairin, Heddy Shri Ahimsa Putra)

Nelayan di Pulau Sembilan terbagi ke dalam tiga kategori :
1.      Nelayan tradisional yang menggunakan tembikar untuk menangkap ikan di laut, para nelayan ini mengandalkan ketahanan fisik dalam bekerja.
2.      Nelayan yang menangkap ikan dengan menangkap ikan dengan bom
3.      Nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bius
Perkembangan cara nelayan dalam menangkap ikan seprti yang disebutkan di atas adalah akibat dari berbagai faktor yang mempengaruhi cara pandang cara bertingkah laku terhadap alam, sehingga akhirnya menimbulkan perilaku eksploitasi terhadap sumber daya alam.
Menurut penelitian ini nelayan Pulau Sembilan mempunyai prinsip bahwa SDA yang tersedia di sekeliling mereka adalah anugerah tuhan yang harus dimanfaatkan untuk mempertahankan kehidupan. Pada awalnya mereka hanya menggunakan alat tradisional seperti tembikar untuk menangkap ikan di laut. Namun, seiring dengan adanya kedatangan pedagang dari Hongkong, Singapura dan Cina yang masuk ke wilayah ini, nelayan Pulau Sembilan diperkenalkan dengan teknologi baru tentang cara menangkap ikan dengan hasil tangkapan yang banyak dan lebih efisien juga tentunya akan mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil tangkapan yang banyak.
Nelayan Pulau Sembilan diperkenalkan dengan cara menangkap ikan menggunakan bom dan bius. Cara ini memang mendatangkan profit yang lebih besar bagi nelayan selain itu mereka juga bisa memenuhi kebutuhan pasar internasional. Namun, dari pemanfaatan teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bius telah merusak ekosistem laut dan perilaku ini dapat digologkan ke dalam eksploitasi terhadap sumber daya alam. Penangkapan dengan cara ini telah merusak ekosistem terumbu karang yang ada di daerah tersebut yang biasa disebut “taka “ oleh masyarakat Pulau Sembilan. Akibat dari penangkapan ikan dengan cara di bom dan bius yang menggunakan racun kimia, ekosistem taka yang ada di daerah ini juga terancam mati akibat bahan kimia yang dipakai.
Dengan menggunakan metode progressive contextualization dalam penelitian ini. Peneliti mengungkapkan bahwa terdapat faktor eksternal dan faktor internal yang menyebabkan terjadinya perilaku eksploitasi sumber daya alam di Pulau Sembilan, faktor tersebut adalah :
1.       faktor eksterrnal
-          Adanya kedatangan pedagang dari Hongkong, Singapura dan Cina ke daerah ini yang telah memperkenalkan cara-cara baru dengan memanfaatkan teknologi dalam menangkap ikan yaitu dengan menggunakan bom dan bius menyebabkan terjadinya perilaku eksploitasi alam oleh nelayan pulau Sembilan. Pedagang dari luar ini pertama memperkenalkan cara ini kepada pemilik modal nelayan di Pulau Sembilan, kemudian pemilik modal inilah yang memperkenalkan cara ini kepada nelayan yang bekerja di laut.
-          Adanya tuntutan pasar internasional terhadap hasil laut yang menyebabkan nelayan mencari cara yang lebih efisien dalam menangkap ikan agar memperoleh hasil yang lebih banyak untuk sebuah keuntungan yang akan didapat.
2.      Faktor internal
-          Adanya istilah “bagawa” dan “sawi” yaitu sebutan untuk “pemilik modal” dan “budak/nelayan yang turun ke laut. Bagawa adalah pemilik modal yang berasal dari anggota masyarakat Pulau Sembilan yang mendanai nelayan untuk menagkap ikan dengan cara bom dan bius. Sehingga dengan adanya bagawa inilah nelayan biasa mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi seperti ini. Akhirnya cara inilah yang mendatangkan perilaku eksploitasi terhadap “taka” yang ada di laut Pulau Sembilan.


(Pertemuan ke-13)
EKOLOGI PERLADANGAN MASYARAKAT BADUY

Mata pencaharian utama penduduk Baduy adalah berladang, sedangkan mata pencaharian lainnya seperti berburu binatang dan membuat kerajinan. Daerah Baduy wilayahnya berbukit-bukit dengan memiliki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Tataguna lahan pada masyarakat Baduy terbagi tiga (1) zona di daerah kaki bukit biasanya daerahnya datar yang digunakan sebagai daerah pemukiman, (2) daerah lereng bukit yang digunakan untuk lahan pertanian intensif seperti ladang atau perkebunan, (3) daerah puncak bukit yang merupakan daerah yang sangat dilindungi.
Aktifitas berladang masyarakat Baduy dilakukan mengkuti kalender atau penanggalan yang telah mereka buat sendiri. Menggarap ladang pada masyarakat Baduy secara umum terbagi pada enam tahapan, yaitu :
1.      Menetapkan lahan garapan
Setiap tahun masyarakat Baduy akan menggarap lahan baru, sebelum tiba waktunya mulai berladang, mereka harus mempersiapkan yaitu mencari lahan-lahan hutan untuk dibuka dan lahan lama yang sudah mereka tinggalkan selama tiga tahun untuk dibuka kembali. Lahan yang mereka garap sesuai dengan tanaman apa yang akan mereka tanam.
2.      Menyiapkan lahan garapan
Ada dua tahap untuk menyiapkan lahan garapan, pertama menebang tumbuhan semak-semak belukaristilahnya disebut nyacar. Kedua memangkas ranting-ranting pohon besar dan cabang-cabang pohon, serta menebang pilih jenis pohon tertentu, istilahnya nuar.
3.      Tanam
pada lahan ladang, yang paling awal ditanam adalah pisang. Pisang ditanam pada saat pekerjaan mengeringkan sisa-sisa penebangan. Tanaman selanjutnya yang ditanam adalah padi. Tanaman padi di ladang dilakukan pada bulan Sembilan. Pada saat bersamaan dengan tanam padi, ditanam pula jenis-jenis tanaman lainnya, yaitu kacang penyut, hiris, cengek, hanjeli, kunyit, terong, jagung, mentimun, kepes kacang jerami, kacang belendung, ubi manis, talas, emes, dan labu.

4.      Masa pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan utama di ladang adalah menyiangi tumbuhan penganggu berupa rumput-rumput liar. Pada saat padi berumur dua bulan dilakukan pula kegiatan mengobati padi dengan cara menaburkan abu sisa-sisa pembakaran yang sebelumnya telah diberi mantra-mantra.
5.      Panen hasil
Masa panen di ladang dilakukan secara bergilir. Jenis tanaman pertama yang di panen adalah terong dan jagung. Selanjutnya panen trubus dan mentimun besar, bersamaan dengan panen padi, dipanen jenis tanaman lain seperti kacang penyut, hanjeli, kunyit, ubi jalar dan lain-lainnya.
Sebelum dilakukan panen padi, dilakukan terlebih dahulu upacara khusus yang disebut upacara mipit pare, yaitu pemotongan padi induk yaitu padi awal yang ditanam diladang oleh kepala keluarga peladang. Cara menuai padi dilakukan dengan cara sederhana menggunakan ani-ani.

6.      Menyimpan hasil
Padi yang telah beberapa hari disimpan di lantayan dan telah kering lalu disimpan di dangau dengan cara ditumpuk secara teratur. Tahap berikutnya tali bambu pengikat padi diganti dengan yang baru dan padi siap di angkut ke kampong untuk disimpan di lumbung padi.